Sabtu, 03 Februari 2018

Etika Al Ghozali



Ada beberapa ungkapan yang bersinggungan dengan makna etika misalnya moral, susila dan etika. Etika berasal dari bahsa yunani ethos yang bermakna adat kebiasaan. Di dalam Dictionary of education disebutkan, “etika adalah studi tentang tingkah laku manusia, tidak hanya untuk mencari kebenaran saja, tetapi juga untuk menyelidiki manfaat atau kebaikan dari tingkah laku manusia.[1] Menurut ahmad amin, etika selalu menempatkan tekanan-tekanan khusus terhadap definisi konsep etika, justifikasi (penilaian terhadap kepitusan moral), sekaligus membedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk. Etika menyelidiki segala hal yang diperbuat manusia dan memutskan baik buruknya.[2]
            Etika dalam Bahasa arab dikenal dengan istilah al-akhlaq, yakni budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabi’at.[3] Menurut  Menurut Al-Ghozali akhlak bukanlah pengetahuan (ma’rifah) tentang yang baik atau buruk, atau kemampuan (qadrah) untuk berbuat baik atau buruk, atau pengamalan (fi’l) yang baik dan yang buruk, tetapi suatu keadaan jiwa yang mantap (hay’ah rasikhah fi al-nafs).[4] Akhlak adalah lukisan keadaan jiwa yang bersih yang menghasilakn perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memutuhkan pemikiran dan perhitungan.[5]

Didalam karya imam Ghozali, al-munqidz min al-Dlalal dan Ihya Ulum al-Din, al-Ghozali memaparkan tentang degradasi moral, sesuai dengan inti persoalannya, al-Ghizali menamakan etikanya dalam dua istilah:
1.      ‘Ilm Thariq al-Akhirah (ilmu jalan menuju akhirat)
2.      ‘Ilm Shifat al-Qulub (ilmu karakter hati)
3.      ‘Ilm Asrar Mu’amalat al-Din (ilmu rahasia perbuatan agama)
4.      ‘Ilm Akhlak al-Abrar (ilmu akhlak yang baik)
5.      ‘Ihya Ulum al-Din (penumbuhan ilmu-ilmu agama)[6]
Menurut al-Ghozali, etika adalah pengkaji kebaikann tentang hal keyakinan religius tertentu (i’tiqadat) dan tentang kebenaran atau kesalahan dalam berbuat. Pengkajian tentang berbuat mencakup perbuatan terhadap Allah, sesama manusia, penyucian jiwa dari kejahatan, dan perihal memperindah jiwa dengan kebaikan-kebaikan.
Etika al-Ghozali lebih bercorak pada teleologis, yakni aliran filsafat yang mengajarkan bahwa segala hal ciptaan di dunia ini ada tujuannya, sebab al-Ghozali menilai perbuatan dasar akibat yang ditimbulkan. Etika ini mengajar kan bahwa manusia mempunyai tujuan yang mulia, yakni kebahagiaan di akhirat. Perbuatan dikatakan baik jika menghasilkan pengaruh terhadap jiwa dan membuatnya membuatnya terdorong untuk mencapai tujuan. Sedangkan perbuatan yang buruk adalah perbuatan yang menghalangi jiwa untuk mencapai tujuan hidup. Adapun perbuatan itu tidak mempunyai nilai moral intrinsik yang otonom.[7]
Etika menurut al-ghozali adalah gabungan dari ilmu religius dengan rasionaliti. Hal ini dapat dilihat dalam pernyataannya “seseorang yang mengandalkan kepercayaan penuh terpisah seluruhnya dari akal adalah orang bodoh”. Sedangkan orang yang puas dengan akal saja lepas dari al-qur’an dan as-sunah adalah tertipu. Berhati-hatilah agar jangan masuk pada salah satu golongan tersebut, gabungkanlah kedua prinsip tersebut, karena ilmu rasional bagaikan makanan dan ilmu agama bagaikan obat. Orang yang sakit karena makanan akan rugi, jika tidaka ada obatnya. Demikian juga penyembuhan jiwa, tidak mungkin dapat dilakukan tanpa ada obat-obatan yang diturunkan dari syari’ah.[8]
            Ada empat tingkatan gradasi peralihan moral, yaitu:
1.      Al-jahil (bodoh) , yakni orang yang tidak dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, sejak lahir orang tersebut bersifat lugu.
2.      Al-Dlalal (sesat), yakni orang yang tau bahwa yang burk aka membuahkan keburukan, tetapi tidak berusaha menjauhinya.
3.      Al-Fasiq (sangat sesat/jahat), yakni orang yang menganggap perbuatan buruk adalah benar sehingga tidak mau meninggalkannya.
4.      Al-Syarr (sangat jahat/keji), yakni orang yang sangat yakin dan bangga atas perbuatan buruknya sehingga dalam mengerjakan tidak ada tuntutan kewajiban, akan tetapi menganggapnya sebagai kebutuhan.[9]
Ada tiga cara untuk memperbaiki perangai baik:
1)      Kemurahan ilahi
2)      Menahan diri
3)      Belajar (ta’allum)
Menurut al-Ghozali sumber akhlak baik dan buruk ada empat, yakni: bijaksana, berani, tahu diri, dan adil.[10] Empat sumber tersebut adalah berkedudukan sebagai pelengkap tiga sumber pokok ahklak, yakni quwwat al-‘aql (kemampuan ahklak), quwwat al-ghadlab (kemampuan amarah), quwwat al-syahwat (kemampuan syahwat).
Dalam karya lain al-Ghozali menyebutkan bahwa tingkatan metode untuk memperbarui perangai adlaha ada tiga bentuk:
1.      Al-‘ilm, membuahkan perangai melalui pemerhatian, pemaknaan dan pelatihan.
2.      Al-Hal, akibat awal dari pemaknaan dan pelatihan.
3.      Al-‘amal, akibat terakhir yang muncul setelah pengkondisian perbuatan ditingkat degradasi bi al-hal.
Sesuai dengan tingkatannya masing-masing al-Ghozali membedakan antara sarana untuk menuju behagia dengan sarana akhir menuju kebahagiaan. Dalam kimiya’ as-sa’adah beliau berkata:
“ketahuilah bahwa yang kita namakan sebagai penyelamat menuju bahagia ada dua macam, pertama, adalah hal-hal yang penting sebagai sarana agama tetapi sebagai tujuan. Misalnya taubat, sabar, zuhud, muraqabah dan faqir. Semua ini adalah sarana menuju akhir kehidupan. Kedua, adalah sifat yang menjadi tujuan dan cita-cita manusia, misalnya cinta, rindu, tauhid, ridla, tawakal dan syukur.[11]

Ada empat tipologi etika islam:
1.    Moralitas Skriptural,
Tipe moral skriptural ini sangat bertumpu pada teks kitab sucinal-qur’an dan sunnah nabi Muhammad. Oleh karena al-qur’an tidak berisi teori-teori etika yang baku, maka teori-teori moralitas skriptural disusun sebagian berasal dari al-qur’an dan sunnah, yang ditandai dengan komplektisitas yang tinggi yang disusun sebagian bersal dari teori-teori umum yang berakar pada dua sumber tersebut. Interpretasinya tergantung pada keluasan seorang tokohnya bertumpu pada teks kitab suci atau kesepakatan terhadap teks yang dapat diterima ketika menghadapi nilai secara dialegtis.
2.    Etika teologis,
Tipe ini tidak terlepas dari pandangan skriptural, akan tetapi kemudian dibentuk lebih luas oleh kategori-kategori dan konsep-konsep filsafat. Landasan pokoknya adalah al-qur’an dan Sunnah, penganjurannya adalah mu’tazilah yang telah memformulasikan antara system etika islam abad ke-8 dan ke-9 dengan dasar pengandaian deontologi.
3.    Etika Religius
 Teori-teori religius berakar dari konsepsi qur’an dan sunnah, tentang manusia dan kedudukannya didalam alam semesta. Etika ini cenderung melepaskan kepelikan “dialektika” atau “metodologi” dan memusatkan pada usaha untuk mengeluarkan spirit moralitas islam dengan cara yang lebih langsung.
4.    Etika filosofis.[12]
Adalah etika yang menguraikan pokok-pokok moral/etika dalam pandangan filsafat. Dalam filsafat etika yang uraikan hanya terbatas pada baik buruk, masalah hak dan kewajiban, dan masalah nilai-nilai moral secara mendasar.

BAB III
1.    Secara umum, etika adalah studi tentang tingkah laku manusia, tidak hanya untuk mencari kebenaran saja, tetapi juga untuk menyelidiki manfaat atau kebaikan dari tingkah laku manusia
2.    Menurut Al-Ghozali akhlak bukanlah pengetahuan (ma’rifah) tentang yang baik atau buruk, atau kemampuan (qadrah) untuk berbuat baik atau buruk, atau pengamalan (fi’l) yang baik dan yang buruk, tetapi suatu keadaan jiwa yang mantap (hay’ah rasikhah fi al-nafs).
3.    Macam-macam etika islam ada empat, yaitu: moralitas skriptural, etika teologis, etika religius dan etika filosofis.


[1] Carter V. Good,ed., Dictionary of education (New York: Mc. GrawHill Book, 1973), 219.
[2] Ahmad Amin, Etika: Ilmu Akhlak, ter. Farid Ma’ruf (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 3.
[3] Louis Ma’luf, al-Munjid fi lughah wa al-‘alam (Beirut: Dar al-Masyriq, 1989), 164.
[4] Muhammad ibn Muhammad ib Ahmad al-Ghozali, Ihya’ Ulum al-Din, ed. Badawi Thabarah, vol.3 (Kairo; Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah,1959), 46-47
[5] Al-Ghozali, Ihya’ Ulum al-Din,vol 3,56.
[6] Al-Ghozali, al-Munqid min al-Dlalal, 42
[7] Ahcmad Faizur Rosyad, mengenal alam suci (menapak jejak al-Ghozali) Tahawuf, filsafat dan tradisi (Yogkarta: KUTUB, 2004), 120.
[8] Ibid, 122
[9] Ibid, 128-129
[10] Al-Ghozali, Ihya Ulum al-Din, vol 3, 59.
[11] Al-ghozali, kimiya’ al-sa’adah, 674
[12] Suparman Syukur, etika religus (yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 186.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar